Jakarta Obormerhnews.com-Sejumlah pasal dalam draf Revisi Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran atau RUU Penyiaran menuai polemik. Dokumen tertanggal 27 Maret 2024 itu dikritik karena ada pasal yang berpotensi mengancam kebebasan pers.
Baca juga: Pemkab Pangandaran Harus Siapkan Rp56 Miliar Tiap Tahun Untuk Gaji PPPK
Draf RUU Penyiaran yang berisikan 14 BAB dengan jumlah total 149 Pasal.
Beberapa pasal yang dianggap dapat menghambat kebebasan pers di Indonesia, yakni larangan penayangan eksklusif jurnalistik investigasi. Kemudian revisi UU Penyiaran juga berpotensi menimbulkan tumpang tindih kewenangan antara Komisi Penyiaran Indonesia atau KPI dengan Dewan Pers soal sengketa jurnalistik.
Dalam Pasal 8A huruf (q) darf Revisi UU Penyiaran, disebutkan bahwa KPI dalam menjalankan tugas berwenang menyelesaikan sengketa jurnalnalistik khusus di bidang penyiaran. Hal ini terjadi tumpang tindih dengan UU Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers atau UU Pers yang menyebut bahwa sengketa pers seharusnya diselesaikan oleh Dewan Pers.
“Menyelesaikan sengketa jurnalistik khusus di bidang Penyiaran,” bunyi Pasal 8A huruf (q) darf Revisi UU Penyiaran.
Serupa Pasal 8A huruf q, pasal 42 ayat 2 juga menyebut bahwa sengketa jurnalistik diurusi oleh KPI. Sedangkan berdasarkan UU Pers, penyelesaian sengketa jurnalistik dilakukan oleh Dewan pers.
“Penyelesaian sengketa terkait dengan kegiatan jurnalistik Penyiaran dilakukan oleh KPI sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan,” demikian bunyi Pasal 42 ayat 2 darf Revisi UU Penyiaran.
Pasal 50 B ayat 2 huruf (c) menjadi pasal yang paling disorot lantaran memuat aturan larangan adanya penyiaran eksklusif jurnalistik investigasi. Berikut bunyi pasal 50 B ayat 2 huruf (c) tersebut:
“Selain memuat panduan kelayakan Isi Siaran dan Konten Siaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1), SIS memuat larangan mengenai:…(c.) penayangan eksklusif jurnalistik investigasi.”
Di kala banyak pihak meminta agar “Pasal Karet” dalam UU ITE diubah karena banyak digunakan untuk menjebloskan seseorang ke dalam penjara dengan dalih pencemaran nama baik, draf revisi UU Penyiaran justru memuat aturan serupa. Sebagaimana dimuat dalam Pasal 50B ayat 2 huruf (k), dilarang membuat konten siaran yang mengandung penghinaan dan pencemaran nama baik.
“Penayangan Isi Siaran dan Konten Siaran yang mengandung berita bohong, fitnah, penghinaan, pencemaran nama baik, penodaan agama, kekerasan, dan radikalisme-terorisme,” bunyi beleid tersebut.
Selain Pasal 8A huruf (q) dan pasal 42 ayat 2, Pasal 51 huruf E juga tumpang tindih dengan UU Pers. Pasal ini mengatur bahwa penyelesaian sengketa jurnalistik dilakukan di pengadilan.
“Sengketa yang timbul akibat dikeluarkannya keputusan KPI dapat diselesaikan melalui pengadilan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan,” bunyi Pasal 51 huruf E.
Sementara itu, menurut anggota Komisi I DPR RI Nurul Arifin mengatakan bahwa Panitia Kerja (Panja) Rancangan Undang-Undang tentang Penyiaran DPR RI memastikan revisi UU Penyiaran tidak membungkam kebebasan pers di Indonesia.
“Tidak ada tendensi untuk membungkam pers dengan RUU Penyiaran ini,” kata Nurul Arifin yang juga sebagai Anggota Panja dalam keterangannya, Jumat (17/5/2024).
Menurutnya, Komisi I DPR RI terus membuka diri terhadap masukan seluruh lapisan masyarakat terkait RUU Penyiaran. Hal itu karena RUU masih akan diharmonisasi di Badan Legislasi DPR RI dan beberapa pasal RUU Penyiaran yang mendapatkan kritik, bukan produk final.
“RUU yang beredar bukan produk yang final, sehingga masih sangat dimungkinkan untuk terjadinya perubahan norma dalam RUU Penyiaran,” kata Politisi Fraksi Partai Golkar ini.
Menurut dia, terdapat beberapa pokok yang diatur pada RUU Penyiaran, seperti pengaturan penyiaran dengan teknologi digital dan penyelenggaraan platform digital penyiaran, perluasan wewenang KPI, hingga penegasan migrasi analog ke digital atau analog switch-off.
RUU Penyiaran ini adalah perubahan Kedua atas UU No 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran, yang mana sebetulnya sudah digulirkan sejak tahun 2012. Namun seiring dengan perkembangan teknologi saat ini, kita memerlukan penguatan regulasi penyiaran digital, khususnya layanan Over The Top (OTT) dan User Generated Content (UGC).
Baca juga: Pemkab Ciamis Bangun Jalan Sukajadi-Kertahayu, Warga Ucapkan Alhamdulilah Punya Jalan Ngageleser
“Jadi secara substansi kita memang membutuhkan revisi UU Penyiaran ini,” ujarnya.(**)
1 Komentar
Apakah data ini real…